Pengaruh
Kenaikan Tarif KRL Commuter Line
Terhadap Pelayanan
PT.
KAI
Nama :
Anistia Diantika
NPM :
10210884
Kelaas :
3EA12
Kereta adalah
salah satu transportasi yang menjadi andalan masyarakat terutama disekitar
Jabodetabek, selain harga KRL relatif murah dan dapat dijangkau masyarakat
kalangan menengah kebawah, KRL pun tidak terjadi kemacetan tidak seperti jalan
raya. Tarif KRL beraneka ragam untuk KRL ekonomi dengan harga Rp. 1.500,00-,
Ekonomi AC dengan harga Rp. 6.000,00- (Depok-Jakarta), dan Rp. 7.000,00-
(Bogor-Jakarta). Tetapi sejak tanggal 01
Oktober 2012 terjadi kenaikan harga KRL dengan rata-rata kenaikan Rp. 2.000/
relasi tujuan. Namun, karena
kuatnya perlawanan dari para pengguna KRL tersebut, rencana kenaikan selalu
bisa digagalkan.
Kali ini nampaknya PT. Kereta Api Indonesia (KAI) tidak lagi ingin kenaikan
tarif KRL Commuter Line kembali gagal. Bahkan Direktur Pemasaran PT KAI
Sulistyo Limbo, seperti ditulis oleh detik.com (5/7), menyarankan penumpang
commuter line yang menolak kenaikan tarif agar tidak naik kereta.
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah kenapa PT KAI begitu bernafsu
menaikan tarif KRL Commuter Line? Benarkah kenaikan tarif KRL Commuter Line itu
ditujukan untuk memperbaiki kualitas layanan KRL?
Kenaikan tarif KRL Commuter Line hanya sebuah tahap saja menuju liberalisasi
total pelayanan kereta api. Meskipun tidak lagi disubsidi, tarif KRL Commuter
Line sekarang dinilai tidak akan menarik minat para investor di bidang layanan
perkeretapian. Padahal di sisi lain, jumlah penumpang KRL Commuter Line
Jabodetabek sangat besar.
Dalam rangka untuk menarik investor itulah maka, tarif KRL Commuter Line
harus dinaikan. Sehingga margin keuntungan dari para investor akan semakin
besar. Hal ini tentu akan menarik minat investor.
Sebelumnya, beberbagai perubahan terus terjadi dalam pengelolaan
perkeretapaian Indonesia. Berdasarkan rekomendasi dari Bank Dunia,
dikeluarkanlah Peraturan Pemrintah (PP) No. 9/1998 tentang pengalihan bentuk
usaha dari PJKA ke PERUMKA. Menurut Infid, saat itulah menjadi tonggak
pengelolaan kereta api didorong untuk meraih keuntungan dengan menerapkan
prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas, sebuah jargon dari liberaliasi
ekonomi.
Liberalisasi perkeretaapian itu diperkuat dengan munculnya PP No. 19/1998
tentang pengalihan bentuk usaha dari PERUMKA menjadi Persero (PT) yang tunduk
pada aturan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Hak warga negara untuk
mendapat pemenuhan dan perlindungan negara dalam melakukan mobilitas diganti
menjadi sekedar hak konsumen berdasarkan transaksi ekonomi.
Karena orientasinya adalah memaksimalkan keuntungan maka persoalan
pelayanan akan diperhatikan setelah laba perusahaan terakumulasi. Pendek kata,
laba perusahaan tidak boleh dikorbankan hanya karena ingin mengutamakan aspek
pelayanan. “Sebab ada harga ada rupa,” kata Direktur Pemasaran PT KAI Sulistyo
Limbo, seperti ditulis oleh detik.com (5/7).
Negara pun tidak bisa memaksa PT KAI untuk memperhatikan layanan penumpang
tanpa terlebih dulu menaikan tarif, karena itu adalah bagian dari pengelolaan
KA yang sudah menjadi unit bisnis. Keterlibatan negara yang tersisa adalah
sekedar membuat regulasi dan memberikan subsidi bagi KA kelas ekonomi.
Para pendukung liberalisasi perkeretaapian akan mengatakan bahwa dengan
adanya liberalisasi maka, akan banyak mengundang operator. Sehingga pelayanan
akan dengan sendirinya meningkat. Pernyataan itu sebenarnya belum tentu
terwujud meskipun pengelolaan KRL Commuter Line diliberalisasi. Namun, yang
sudah pasti terjadi adalah kenaikan tarif KRL Commuter Line sebagai pra syarat
untuk menarik investor.
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah, siapa yang terkana dampak dari
naiknya tarif KRL Commuter Line menjelang liberalisasi perkeretapian ini? Pihak
yang utama dan pertama terkena dampak dari liberalisasi perekertaapian, dalam
hal ini pengelolaan KRL Commuter Line, adalah kelompok masyarakat
menengah-bawah.
Beban transportasi menuju tempat kerja ke Jakarta akan bertambah
berlipat-lipat dengan kenaikan tarif KRL Commuter Line. Sebelum terjadi
kenaikan tarif KRL Commuter Line Jabodetabek, biaya transportasi para pekerja
menuju kota Jakarta tergolong tinggi. Menurut data dari Masyarakat Transportasi
Indonesia (MTI), sebesar 25 persen lebih pendapatan warga ibukota per bulan,
ternyata habis hanya untuk biaya transportasi.
Dengan kata lain, seorang pekerja dengan pendapatan standar Upah Minimum
Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp1,5 juta-an, akan membelanjakan uang
sebesar Rp.300 ribuan lebih hanya untuk biaya transportasi per bulan. Padahal
biaya transportasi idealnya hanya sebesar 10-15 persen dari pendapatan
seseorang.
Namun, bukankah masih ada KRL ekonomi Jabodetabek yang dioperasikan untuk
kalangan kelas menengah-bawah. Memang masih ada KRL ekonomi yang masih
dioperasikan. Namun jumlah perjalanannya dikurangi. Artinya, secara halus
penumpang dikondisikan untuk menggunakan KRL Commuter Line. Dan setelah para
penumpang menggunakan KRL Commuter Line, secara bertahap tarif dinaikan ke
angka yang dapat menarik investor baru, sebagai pra syarat dari liberalisasi
perkeretapian. Pola yang sama juga pernah dilakukan dalam liberalisasi migas di
Indonesia.
Andai saja terjadi kembali perlawanan yang cukup masif terhadap rencana
kenaikan tarif KRL Commuter Line maka, seharusnya itu ditempatkan dalam
kerangka perelawanan terhadap upaya liberalisasi cabang-cabang produksi yang
penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Jadi perlawanannya bukan
sekedar didasari pada tuntutan peningkatan kualitas layanan.
Sektor perkeretapian adalah sektor yang selain melayani kepentingan banyak
orang juga sektor yang mampu mencegah kemacetan lalu lintas dan pemborosan
bahan bakar minyak (BBM) melalui penggunaan kendaraan bermotor. Untuk itulah,
liberalisasi perkeretapian, yang berarti menghilangkan subsidi terhadapnya,
justru akan merugikan masyarakat secara umum.
Masyarakat yang bukan kelas menengah-atas tidak akan mampu mengakses
layanan KRL. Mereka akan lebih memilih menggunakan sepeda motor untuk mencapai
Jakarta. Artinya, itu akan menambah kemacetan lalu lintas, polusi udara dan
juga pemborosan BBM. Untuk itu tidak seharusnya, sektor perkeretapian
diliberalisasi. Pemerintah harus tetap memberikan subsidi agar seluruh kelas
sosial di masyarakat bisa mengaksesnya dan mencegah pemborosan BBM dan polusi
udara yang merugikan masyarakat banyak.
Ditambah
dengan kejadian yang palingmendapat sorotan adalah kejadian kereta tujuan Bogor
– Jakarta stasiun Cilebut beberapa hari setelah kenaikan tarif kereta api.
Meski tidak ada korban jiwa, kejadian tersebut sempat menghambat jalannya
transportasi. Menurut saksi mata kereta memang tidak bejalan mulus seperti
seharusnya. Ketika gerbong 1 & 2 memasuki peron Cilebut semua masih
baik-baik saja, namun pada gerbong ke 3 kereta mengalami anjlok yang disusul
gerbang-gerbang lainnya. Sehingga gerbong 7 & 8 melintang ke jalur
Jakarta-Bogor. Para penumpang didalam kereta semakin panik karena pintu kereta
kunjung tidak terbuka. Setelah pintu
kereta terbuka penumpang berhamburan untuk menyelamatkan diri.
Semoga
dengan adanya kejadian di stasiun Cilebut PT. Kai lebih meningkatkan kenyaman
dan kualitas dari kereta tesebut agar tidak terjadi keterlambatan lagi.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/09/24/kenaikan-tarif-krl-commuter-line-dan-liberalisasi-perkertaapian/