Jumat, 19 Oktober 2012

Tugas Softskill Perilaku Konsumen


Pengaruh Kenaikan Tarif KRL Commuter Line  Terhadap Pelayanan

PT. KAI

Nama : Anistia Diantika

NPM    : 10210884

Kelaas            : 3EA12

 

Kereta adalah salah satu transportasi yang menjadi andalan masyarakat terutama disekitar Jabodetabek, selain harga KRL relatif murah dan dapat dijangkau masyarakat kalangan menengah kebawah, KRL pun tidak terjadi kemacetan tidak seperti jalan raya. Tarif KRL beraneka ragam untuk KRL ekonomi dengan harga Rp. 1.500,00-, Ekonomi AC dengan harga Rp. 6.000,00- (Depok-Jakarta), dan Rp. 7.000,00- (Bogor-Jakarta).  Tetapi sejak tanggal 01 Oktober 2012 terjadi kenaikan harga KRL dengan rata-rata kenaikan Rp. 2.000/ relasi tujuan. Namun, karena kuatnya perlawanan dari para pengguna KRL tersebut, rencana kenaikan selalu bisa digagalkan.

Kali ini nampaknya PT. Kereta Api Indonesia (KAI) tidak lagi ingin kenaikan tarif KRL Commuter Line kembali gagal. Bahkan Direktur Pemasaran PT KAI Sulistyo Limbo, seperti ditulis oleh detik.com (5/7), menyarankan penumpang commuter line yang menolak kenaikan tarif agar tidak naik kereta.

Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah kenapa PT KAI begitu bernafsu menaikan tarif KRL Commuter Line? Benarkah kenaikan tarif KRL Commuter Line itu ditujukan untuk memperbaiki kualitas layanan KRL?

Kenaikan tarif KRL Commuter Line hanya sebuah tahap saja menuju liberalisasi total pelayanan kereta api. Meskipun tidak lagi disubsidi, tarif KRL Commuter Line sekarang dinilai tidak akan menarik minat para investor di bidang layanan perkeretapian. Padahal di sisi lain, jumlah penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek sangat besar.

Dalam rangka untuk menarik investor itulah maka, tarif KRL Commuter Line harus dinaikan. Sehingga margin keuntungan dari para investor akan semakin besar. Hal ini tentu akan menarik minat investor.

Sebelumnya, beberbagai perubahan terus terjadi dalam pengelolaan perkeretapaian Indonesia. Berdasarkan rekomendasi dari Bank Dunia, dikeluarkanlah Peraturan Pemrintah (PP) No. 9/1998 tentang pengalihan bentuk usaha dari PJKA ke PERUMKA. Menurut Infid, saat itulah menjadi tonggak pengelolaan kereta api didorong untuk meraih keuntungan dengan menerapkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas, sebuah jargon dari liberaliasi ekonomi.

Liberalisasi perkeretaapian itu diperkuat dengan munculnya PP No. 19/1998 tentang pengalihan bentuk usaha dari PERUMKA menjadi Persero (PT) yang tunduk pada aturan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Hak warga negara untuk mendapat pemenuhan dan perlindungan negara dalam melakukan mobilitas diganti menjadi sekedar hak konsumen berdasarkan transaksi ekonomi.

Karena orientasinya adalah memaksimalkan keuntungan maka persoalan pelayanan akan diperhatikan setelah laba perusahaan terakumulasi. Pendek kata, laba perusahaan tidak boleh dikorbankan hanya karena ingin mengutamakan aspek pelayanan. “Sebab ada harga ada rupa,” kata Direktur Pemasaran PT KAI Sulistyo Limbo, seperti ditulis oleh detik.com (5/7).

Negara pun tidak bisa memaksa PT KAI untuk memperhatikan layanan penumpang tanpa terlebih dulu menaikan tarif, karena itu adalah bagian dari pengelolaan KA yang sudah menjadi unit bisnis. Keterlibatan negara yang tersisa adalah sekedar membuat regulasi dan memberikan subsidi bagi KA kelas ekonomi.

Para pendukung liberalisasi perkeretaapian akan mengatakan bahwa dengan adanya liberalisasi maka, akan banyak mengundang operator. Sehingga pelayanan akan dengan sendirinya meningkat. Pernyataan itu sebenarnya belum tentu terwujud meskipun pengelolaan KRL Commuter Line diliberalisasi. Namun, yang sudah pasti terjadi adalah kenaikan tarif KRL Commuter Line sebagai pra syarat untuk menarik investor.

Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah, siapa yang terkana dampak dari naiknya tarif KRL Commuter Line menjelang liberalisasi perkeretapian ini? Pihak yang utama dan pertama terkena dampak dari liberalisasi perekertaapian, dalam hal ini pengelolaan KRL Commuter Line, adalah kelompok masyarakat menengah-bawah.

Beban transportasi menuju tempat kerja ke Jakarta akan bertambah berlipat-lipat dengan kenaikan tarif KRL Commuter Line. Sebelum terjadi kenaikan tarif KRL Commuter Line Jabodetabek, biaya transportasi para pekerja menuju kota Jakarta tergolong tinggi. Menurut data dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), sebesar 25 persen lebih pendapatan warga ibukota per bulan, ternyata habis hanya untuk biaya transportasi.

Dengan kata lain, seorang pekerja dengan pendapatan standar Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp1,5 juta-an, akan membelanjakan uang sebesar Rp.300 ribuan lebih hanya untuk biaya transportasi per bulan. Padahal biaya transportasi idealnya hanya sebesar 10-15 persen dari pendapatan seseorang.

Namun, bukankah masih ada KRL ekonomi Jabodetabek yang dioperasikan untuk kalangan kelas menengah-bawah. Memang masih ada KRL ekonomi yang masih dioperasikan. Namun jumlah perjalanannya dikurangi. Artinya, secara halus penumpang dikondisikan untuk menggunakan KRL Commuter Line. Dan setelah para penumpang menggunakan KRL Commuter Line, secara bertahap tarif dinaikan ke angka yang dapat menarik investor baru, sebagai pra syarat dari liberalisasi perkeretapian. Pola yang sama juga pernah dilakukan dalam liberalisasi migas di Indonesia.

Andai saja terjadi kembali perlawanan yang cukup masif terhadap rencana kenaikan tarif KRL Commuter Line maka, seharusnya itu ditempatkan dalam kerangka perelawanan terhadap upaya liberalisasi cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Jadi perlawanannya bukan sekedar didasari pada tuntutan peningkatan kualitas layanan.

Sektor perkeretapian adalah sektor yang selain melayani kepentingan banyak orang juga sektor yang mampu mencegah kemacetan lalu lintas dan pemborosan bahan bakar minyak (BBM) melalui penggunaan kendaraan bermotor. Untuk itulah, liberalisasi perkeretapian, yang berarti menghilangkan subsidi terhadapnya, justru akan merugikan masyarakat secara umum.

Masyarakat yang bukan kelas menengah-atas tidak akan mampu mengakses layanan KRL. Mereka akan lebih memilih menggunakan sepeda motor untuk mencapai Jakarta. Artinya, itu akan menambah kemacetan lalu lintas, polusi udara dan juga pemborosan BBM. Untuk itu tidak seharusnya, sektor perkeretapian diliberalisasi. Pemerintah harus tetap memberikan subsidi agar seluruh kelas sosial di masyarakat bisa mengaksesnya dan mencegah pemborosan BBM dan polusi udara yang merugikan masyarakat banyak.

Ditambah dengan kejadian yang palingmendapat sorotan adalah kejadian kereta tujuan Bogor – Jakarta stasiun Cilebut beberapa hari setelah kenaikan tarif kereta api. Meski tidak ada korban jiwa, kejadian tersebut sempat menghambat jalannya transportasi. Menurut saksi mata kereta memang tidak bejalan mulus seperti seharusnya. Ketika gerbong 1 & 2 memasuki peron Cilebut semua masih baik-baik saja, namun pada gerbong ke 3 kereta mengalami anjlok yang disusul gerbang-gerbang lainnya. Sehingga gerbong 7 & 8 melintang ke jalur Jakarta-Bogor. Para penumpang didalam kereta semakin panik karena pintu kereta kunjung tidak terbuka.  Setelah pintu kereta terbuka penumpang berhamburan untuk menyelamatkan diri.

Semoga dengan adanya kejadian di stasiun Cilebut PT. Kai lebih meningkatkan kenyaman dan kualitas dari kereta tesebut agar tidak terjadi keterlambatan lagi.

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/09/24/kenaikan-tarif-krl-commuter-line-dan-liberalisasi-perkertaapian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar